Senin, 04 April 2016

ETIKA DALAM FOTOGRAFI

photograper bastera rusdi



       APAKAH ada kode etik dalam dunia fotografi? Jawabnya, tentu saja ada. Sekalipun bagi para fotografer di Indonesia, kode etik itu belum tertulis secara formal, tapi baru dalam tahapan sekadar ‘sesuatu yang dipahami’. Artinya, sampai hari ini kode etik tersebut masih sampai pada tataran ‘sekadar pegangan’ yang tidak memiliki kekuatan mengikat.

Tapi tidak demikian halnya dengan fotografer yang terlibat di dalam kerja jurnalistik. Para wartawan atau jurnalis foto dalam melaksanakan kerja profesinya sebagai wartawan telah terikat dengan suatu kode etik jurnalistik (kewartawanan) yang tidak hanya ‘harus dipahami’, tetapi juga harus dipatuhi. Dengan kata lain, setiap wartawan foto dalam kerja profesinya senantiasa harus berpegangan dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam kode etik tersebut.

Persoalan etika di dalam dunia fotografi, hingga hari ini memang selalu menjadi bahan perdebatan dan pergunjingan yang menarik. Di luar negeri misalnya, cara kerja para paparazi (fotografer bebas) yang sering mengabaikan etika dan melanggar hak pribadi orang lain, banyak mendapat protes dan kecaman.



Jangan Melanggar Hak Pribadi

Sekalipun belum ada kode etik yang tertulis secara formal, tapi setiap fotografer dalam kerjanya dituntut untuk senantiasa menjunjung tinggi atau menghormati norma-norma dan nilai-nilai etika yang ada di masyarakat. Hal utama yang harus diperhatikan ketika melakukan kerja profesinya adalah menghindari perbuatan-perbuatan yang melanggar hak pribadi orang lain.

Hak pribadi orang lain itu dilindungi oleh hukum. Seseorang yang hak pribadinya merasa telah dilanggar oleh seorang fotografer melalui karya fotonya, berhak memperkarakan fotografer itu secara hukum. Hak pribadi itu misalnya, hak untuk berbuat apapun di dalam rumahnya sendiri, sejauh hak itu tidak bertentangan dengan hukum.

Jadi, apabila seorang fotografer dengan cara menyelinap telah memotret sepasang suami-isteri yang sedang bermesraan di rumahnya sendiri, maka perbuatan itu dikategorikan sebagai pelanggaran etika yang berat. Bahkan, tindakan itu juga merupakan perbuatan melawan hukum yang bisa dipidanakan.

Persoalannya tentu akan berbeda jika pasangan suami-isteri itu ‘bermesraan’ di area publik yang terbuka, misalnya di taman-taman kota yang ramai pengunjungnya, di pusat-pusat keramaian,di pinggir-pinggir jalan, dan di tempat-tempat yang bisa disaksikan orang-orang lain. Dengan bermesraan di area terbuka atau area publik, maka si pelaku, apakah mereka pasangan suami-isteri yang sah atau pasangan cinta lainnya telah kehilangan ‘hak pribadi’ atau ‘hak-hak hukum’nya. Mereka telah melepaskan hak-hak itu untuk diketahui atau ditonton oleh masyarakat luas.

Jika peristiwa semacam itu ditemukan oleh seorang fotografer, maka perbuatan fotografer (memotret) tersebut tidak dapat dikatakan telah melanggar hak pribadi orang lain. Terlebih lagi bila si fotografer itu adalah seorang wartawan foto, sehingga peristiwa yang terekam di dalam kameranya itu kemudian muncul di media surat kabar, majalah dan semacamnya, maka si ‘objek’ tidak bisa menuntutnya secara hukum. Meskipun kemudian foto yang dimuat itu telah dilihat ribuan pembaca, wartawan foto dan medianya tidak bisa dituntut telah melakukan perbuatan pencemaran nama baik atau perbuatan yang tidak menyenangkan.

Akan tetapi media pers bersangkutan harus berhati-hati dalam menentukan pilihan terhadap foto-foto yang akan dimuat. Sebab, apabila tidak berhati-hati dalam memuat fotonya, media pers tersebut bisa terjerat ke perangkap hukum. Kalau pilihan foto yang dimuat adalah foto yang menampilkan adegan penuh birahi atau sarat dengan kesan pornografi, maka media pers dan si wartawan foto bisa dijerat dengan pasal melanggar kesusilaan serta menyebarluaskan fornografi. Larangan wartawan dan media pers menyebarluaskan hal-hal yang melanggar kesusilaan dan pornografi itu tidak saja tertera di dalam kode etik jurnalistik, tetapi juga di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.



Menolong atau Memotret?

Menolong atau memotret? Ini adalah pertanyaan manusiawi yang muncul di benak setiap fotografer, terutama wartawan foto, ketika menjumpai suatu peristiwa yang berhubungan dengan keselamatan jiwa orang lain. Bahkan, tidak sedikit pihak yang mencela bahwa wartawan foto tidak memiliki rasa kemanusiaan, karena lebih mementingkan bidikan kameranya dibanding jiwa atau nyawa korban yang tergeletak di depannya.

Dalam banyak kasus yang berhubungan dengan keselamatan jiwa orang lain itu, wartawan foto (forografer) memang sering dihadapkan pada persoalan batin yang sulit. Tugas utama wartawan foto adalah memotret. Kewajiban profesinya sebagai wartawan foto yang bertugas memotret telah membuatnya terpaksa harus mengenyampingkan naluri kemanusiaannya untuk menolong. Sekalipun mungkin, langkahnya itu telah mengakibatkan jiwa orang lain menjadi tidak bisa tertolong lagi.

Dalam persoalan batin yang sulit seperti itu, ada beberapa contoh kasus yang menarik untuk disimak. Salah sari di antaranya kisah yang dialami Kevin Carter, seorang wartawan foto lepas dari Kantor Berita Reuters dan Sygma Photos New York di Afrika Selatan. Tahun1993 ia mendapat tugas dari Reuters untuk meliput kasus kelaparan yang terjadi di Sudan.

Salah satu foto hasil liputannya di Sudan itu telah mendapatkan Hadiah Pulitzer tahun 1994. Hadiah Pulitzer merupakan penghargaan paling bergengsi bagi insan pers di Amerika Serikat. Foto Kevin Carter yang meraih Hadiah Pulitzer itu menampilkan gambar seorang anak kecil yang kurus kering karena kelaparan tertunduk tak berdaya di jalanan sunyi. Sedang hanya beberapa langkah di belakang anak kecil itu terdapat seekor burung pemakan bangkai. Burung itu seperti sedang menunggu kesempatan untuk melahapnya. Anak kecil yang tak berdaya itu sebelumnya terjatuh dari atas kendaraan yang membawa rombongan penduduk yang menuju ke posko pembagian makanan. Entah mengapa tidak seorang pun dalam rombongan penduduk tersebut yang mengetahui jika anak kecil itu terjatuh dan tertinggal.

Kevin Carter yang melihat si anak terjatuh dan tertinggal, kemudian ditunggui seekor burung pemakan bangkai, tidak mensia-siakan moment yang menarik itu. Ia langsung memotretnya. Sehabis memotret beberapa kali, ia pun segera bergegas meninggalkan anak kecil itu, karena ingin secepatnya sampai di lokasi posko pembagian makanan, agar tidak tertinggal peristiwa-peristiwa menarik lainnya.

Tapi beberapa hari kemudian, Kevin Carter dilanda kegelisahan dan penyesalan yang dalam. Ia gelisah memikirkan nasib anak kecil kurus tak berdaya yang tertunduk di jalanan kering dan ditunggui seekor burung pemakan bangkai itu. Dalam pikirannya, anak kecil itu kemudian meninggal dan disantap burung pemakan bangkai. Ia dilanda perasaan bersalah yang sangat besar.

Perasaan bersalah karena tidak menyelamatkan anak kecil itu terus dibawanya sampai pada saat menerima Hadiah Pulitzer tersebut di New York pada tanggal 23 Mei 1994. Hadiah penghargaan bergengsi itu tidak mampu menghapus perasaan bersalah yang menyesak-nyesak di dadanya. Kevin Carter benar-benar mengalami penderitaan batin yang dahsyat, Klimaksnya, dua bulan kemudian, tepatnya di bulan Juli 1994, ia ditemukan tewas di rumahnya, di Johannesburg, Afrika Selatan. Ia tewas bunuh diri dengan meninggalkan selembar surat. Di dalam surat terakhirnya itu, Kevin Carter menyatakan dirinya tidak kuat mengalami penderitaan batin karena telah mengutamakan profesinya dibandingkan kewajiban kemanusiaannya.

Tragisnya, anak kecil yang terabadikan di dalam fotonya, yang semula diperkirakan telah meninggal dan dimakan burung pemakan bangkai itu, ternyata masih hidup. Beberapa hari setelah kematian Kevin Carter, media-media di Amerika Serikat pun gencar memberitakan bahwa anak kecil di fotonya itu masih hidup, karena kemudian ada orang lain yang menolongnya.

Pertanyaannya, apakah Kevin Carter telah melanggar etika dalam fotografi? Jawabannya tentu bisa diperdebatkan. Tapi, dari sudut pandang fotografi, apa yang dilakukan Kevin Carter bukanlah perbuatan yang bisa dikategorikan melanggar etika fotografi. Karena tugas seorang wartawan foto atau fotografer di lapangan adalah memotret. Itu saja. (SEA)

1 komentar: