Senin, 04 April 2016

Filosofi Fotografi

                                fhoto by Google


Filosofi dari fotografi itu tidak hanya sekedar "menjepret" kan kamera ke objeek yang di tuju, namun yang terpenting dari seni ini adalah kejujuran, realita dan keindahan akan menjadi sebuah moment yang sangat bermakna bagi foto tersebut ataupun sejarah dari foto tersebut.
Warna yang kuat, pencahayaan rendah, bahasa tubuh subyek, serta kedalaman sebuah peristiwa merupakan karakter karya wartawan foto Steve McCurry. Tengoklah foto ”Afghan Girl” yang direkam di kamp pengungsian Nasir Bagh tak jauh dari Peshawar, Pakistan, tahun 1984. Karyanya yang menghiasi sampul majalah National Geographic itu sudah menjadi ikon dunia. Hingga majalah ini pun pada tahun 2002 mengulas pertemuan kembali McCurry dengan Sharbat Gula, nama gadis yang dipotretnya itu, selang waktu 17 tahun berlalu.
Pupil mata berwarna hijau yang menatap tajam milik Sharbat Gula adalah salah satu dari sekian banyak karyanya yang sangat selektif dalam pemilahan warna dan kepekaan dalam membaca simbol-simbol warna untuk direkam dalam ruang dua dimensi.
Karya lainnya yang menampilkan kepiawaian McCurry dalam mengolah warna adalah foto seorang bocah lelaki tengah melompat di sebuah perkampungan di Jodhpur, India, tahun 2007, yang menjadi sampul buku The Unguarded Moment yang diterbitkan oleh penerbitan Phaidon Press tahun 2009.
Steve McCurry memulai kariernya dengan bergabung pada agensi foto Magnum, juga banyak membantu majalah National Geographic. McCurry berpendapat, sebuah foto harus didukung filosofi yang kuat. Dalam wawancara dengan Kompas di Singapura, Juni lalu, McCurry mengatakan, ia tetap bertahan pada filosofi itu walau melewati pergeseran teknologi dari fotografi film ke fotografi digital.
Filosofi fotografi menjadi bagian penting untuk memahami teknis fotografi, terutama pada saat mengeksplorasi sebuah peristiwa dalam kondisi apa pun. Ucapannya itu dicerminkannya dalam ratusan karya foto yang memiliki karakteristik pada tingkat cahaya rendah, bidang warna, bahasa tubuh, dan pembekuan karakter wajah manusia yang menyiratkan kekuatan simbol etnis tertentu pada karya fotonya berkategori potret.
McCurry sangat menjaga irama permainan warna dan garis-garis bayangan, seperti terungkap di atas, meski pemotretan yang dia lakukan saat hujan maupun senja hari sekalipun.
Bahasa tubuh menjadi alasan penting saat mengambil keputusan menekan rana, itu ia tunjukkan pada foto yang direkamnya di Jodhpur tahun 1996, yang menggambarkan tiga lelaki India dengan kostum yang sama di teras rumah, tetapi berpose dan gerakan tubuhnya berbeda. Pentingnya memahami bahasa tubuh manusia dalam pemotretan dijelaskanya juga pada seksi workshop fotografinya.
Pria kelahiran Philadelphia tahun 1950 ini hidup malang melintang di dunia fotografi lebih dari 30 tahun dan banyak menerima penghargaan, di antaranya penghargaan Robert Capa Gold Medal Award 1980, untuk liputan perang di Afghanistan pada majalah Time, World Press Photo 1992 pada kategori alam lingkungan ini dekat dengan alam.
Bahkan, hujan sekali menjadi sebuah peristiwa dramatis baginya. Ekspresi dua gadis kecil berteduh di bawah tampah tengah diguyur hujan deras di Jawa tahun 1983, atau foto biku yang tengah menembus hujan di kompleks Candi Angkor Wat, Kamboja, 1999.
Menandai perjalanan kariernya selama 30 tahun, Steve McCurry menerbitkan kembali buku kumpulan karya fotonya dan berpameran dengan tajuk The Unguarded Moment di Asian Civilization Museum, Singapura, Juni lalu.
The Unguarded Moment merupakan buku kesepuluh dari keseluruhan buku foto yang pernah diterbitkannya. Buku itu merupakan kumpulan foto-fotonya yang direkam di India dan di beberapa negara Asia lainnya, kecuali Indonesia.
Dalam pameran fotonya, McCurry memberikan kepercayaan kepada Epson print untuk mencetak sekitar 45 foto yang terpajang di ruang pameran. Foto-fotonya yang dicetak dengan menggunakan Epson Stylus Pro 7900 dan 9900 itu, menurut dia, memiliki kesempurnaan warna dan cemerlang, terutama pada Epson Stylus Pro 9900 yang memiliki 11 tinta warna, khusus untuk mengejar warna kulit manusia, terutama pada foto-foto berkategori potret yang menonjolkan warna kulit wajah manusia dari berbagai etnis di belahan dunia. Epson Stylus Pro 9900 menambahkan dua tinta warna dari versi sebelumnya hanya sembilan tinta warna, yaitu warna hijau dan oranye.
Selain pameran, McCurry mengadakan workshop dan lomba foto bagi fotografer selama sehari. Dalam workshop-nya, ia mengingatkan para fotografer muda agar menggunakan format RAW dalam pemotretan dengan kamera digital. Dalam format RAW akan didapat ukuran data foto yang besar sesuai dengan kemampuan kamera, juga kepadatan warna yang maksimal, lebih baik daripada format JPEG.
Meski wilayah liputannya di Asia Tenggara, McCurry baru sekali ke Indonesia, tahun 1983, itu pun hanya tujuh minggu, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi. Di Bojonegoro, Jatim, ia pernah memotret seorang gadis cilik berdiri di depan pagar rumah yang hampir tenggelam akibat banjir. Foto  itu menghiasi bukunya berjudul Monsoon yang terbit tahun 1988.
Di Indonesia, menurut dia, banyak sekali obyek foto menarik, terutama kehidupan keseharian, untuk direkam menjadi gambar. Dia ingin sekali berkunjung dan merasa berbahagia bila ada kesempatan bisa ke Indonesia lagi. ”Asal ada yang mau memberikan tiket…,” ungkapnya sambil bercanda menutup wawancara. Eddy Hasby

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=455022231187552&id=123462811010164

0 komentar:

Posting Komentar